Sabtu, 18 Oktober 2008

GADIS.......

Aku masih mengingatnya. Seorang gadis cantik berbalut busana muslimah. Wajahnya segar meski tanpa polesan kosmetik. Dan saat dia tertawa kelihatan gigi-giginya yang pitih tersusun rapi. Tipe seperti dialah yang selama ini aku impikan sebagai pendamping hidupku.
Dia selalu datang dalam kesendirianku. Kedatangannya membuat hatiku haru. Haru karena kegembiraan yang kurasakan hanya sesaat, setelah itu kerinduanku padanya pun menyergap
Lima bulan berlalu, tapi wajahnya tak pernah lekang dari ingatanku. Ia seperti menggoda walaupun sesungguhnya dia bukanlah tipe wanita penggoda. Dia seorang remaja , seorang muslimah yang soleh dimataku.
Pertemuanku dengannya terjadi tanpa sengaja saat aku akan pulang ke Jakarta dari Bandung. Aku memilih kereta Parahyangan jurusan Bandung – Jakarta. Di kereta itu aku duduk di gerbong kedua di


kursi yang terletak di jajaran kiri. Dengan demikian maka aku duduk dengan arah yang berlawanan dengan arah kereta bergerak.
Sebagai mahasiswa tingkat akhir, usiaku memang sudah dibilang cukup dewasa. Umumnya lelaki dewasa, mereka sudah punya pasangan, namun aku? Aku belum pernah punya pacar. Terus terang aku memimpikan seorang gadis yang berjilbab. Bukannya aku tidak suka gadis yang enerjik pandai main gitar seperti Ririn yang nampaknya menaruh hati padaku. Tapi untuk menjadi pacar sekaligus kelak menjadi isteriku, dia harus wanita muslimah, ini pilihan mati.
Bagiku berjilbab adalah masalah keimanan bukan tampilan orang kuno atau pakaian wanita Arab. Sebagai wanita Islam, berbusana muslim merupakan kewajiban yang harus ditunaikan.
Lamunanku tiba-tiba menghilang. Pasalnya beberapa saat sebelum kereta bergerak , seorang gadis berjilbab duduk di depanku.
Kulirik sejenak. Amboi betapa anggunnya gadis berjilbab itu. Jilbab hijau yang dikenakan serasi dengan celana panjang yang di pilihnya. Meski sekilas mataku menatap sosoknya yang tadi, namun aku bisa memastikan gadis itu tidak mengenakan sapuan kosmetik. Dan parasnya tanpa sapuan kosmetik itu justru semakin membuat penampilannya kelihatan segar. Terus terang aku bangga melihat ketetapan hatinya untuk berbusana muslimah.
Kereta Parahyangan yang aku tumpangi mulai bergerak meninggalkan stasiun Bandung. Diluar sana aku memendamh pohon-pohon, gunung-gunung, bangunan-bangunan yang mulai bergerak.
Kulirik sekali lagi, Alamak , betapa anggunnya paras ayu yang tanpa polesan kosmetik itu. Dilihat dari tampilannya, pastilah dia lebih muda dari aku. Jika mahasiswi, paling-paling dia baru semester dua. Yang mengagumkan, dia sudah punya ketetapan hati untuk memilih berbusana muslimah.
Dalam hati aku geregetan dengan sifat pemaluku. Kebiasaan burukku selalu malu memulai percakapan jika berjumpa dengan gadis cantik. Karena itu pula aku lebih memilih melontarkan pandangan ke luar jendela. Pohon-pohon, deretan kios, gunung-gunung, dan deretan awan kurasakan bergerak cepat banget.
Cukup lama kami terdiam. Namun secara kebetulan kami beradu pandang. Gadis itu tersenyum dan aku membalasnya dengan senyuman pula. Tak kusia-siakan kesempatan ini, maka akupun mencoba untuk menyapanya.
“Mau ke Jakarta nih?”
“Ya,kak. Saya baru dari rumah bibi di Bandung” jawabnya. Tidak sampai disitu, gadis itu kembali bertanya, “Kakak juga mau ke Jakarta?”
“Ya, Saya tinggal di Jakarta”
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, akupun mulai mencari topik pembicaraan. Melihat penampilannya yang muslimah, akupun bertanya seputar perkembangan Islam di kalangan remaja. Benar dugaanku, gadis itu menjawab dengan antusias.
“Menurut saya, remaja sekarang banyak yang dahaga terhadap agama. Buktinya, setiap kali diadakan ceramah di masjid yang sering saya kunjungi di bilangan Menteng, pesertanya selalu melimpah” katanya. Ia tertawa. Tawanya itu…duh Gusti betapa merdu. Kubayangkan betapa makin merdunya saat ia melantunkan ayat-ayat suci Al’Quran. Hanya dalam hitungan menit kami sudah merasa akrab. Mungkin karena gadis di depanku nampaknya cukup humoris, ceria dan bisa mengimbangi pembicaraanku. Gadis secantik itu apakah sudah punya pacar?
Entah kekuatan dari mana aku menanyakan pendapatnya tentang pacaran. Terutama pacaran di kalangan anak-anak muda di kota besar.
“Pacaran itu perbuatan yang mendekati zina” katanya tanpa ragu.
Aku menarik nafas untuk melanjutkan obrolan panjang ini.
“Apa sebabnya kamu berpendapat seperti itu?”
“Dalam hubungan yang namanya pacaran semua bentuk zina bisa ditemukan…”
“Contohnya?” kataku.
Dia memandangku sebentar, sebelum melanjutkan pembicaraan. Dia uraikan macam-macam jenis zina hingga yang paling dikutuk Allah yakni zina farji, nauzubillahiminzalik.
“Tapi…” kataku mencoba mematahkan argumentasinya.
“Pacaran kan bisa manghindarkan zina-zina yang kamu sebutkan tadi…”
“bulsit, omong kosong!!!, pacaran jaman sekarang kalau cuma pegangan tangan, ciuman …itu masih disebut kuno!!” katanya.
Gadis itu kembali memandangku seolah-olah sedang menyelidiki pendapatku. Karena penasaran akupun mengejar argumen lain. Kukatakan padanya bahwa pacaran adalah tahap pengenalan antara dua insane yang punya latar budaya yang berbeda…”
“Bagaimana kita mau mengenal pasangan kita kalau enggak pacaran dulu” kataku.
Gadis berjilbab itu menarik nafas panjang untuk melanjutkan obrolan yang semakin panjang ini.
“Dalam Islam pacaran diharamkan. Jalan untuk mengenal teman hidupny ya dengan taaruf” katanya.
Kereta Parahyangan terus bergerak mengguncang-guncang tubuh kami. Entah berapa stasiun yang sudah kami lewati. Obrolan kami terasa lebih leluasa dan bahkan cukup santai. Maklum di kiri kanan kami tak ada penupang lain yang bisa diajak bicara.
Diam-diam aku mulai merasakan bukan berhadapan dengan seoarang gadis biasa. Aku mulai merasakan bahwa gadis berjilbab didepanku bukanlah gadis yang kurang pergaulan. Aku juga tidak menemukan dalam diri gadis itu rasa rendah hati.
Aku mencoba mencari celah untuk bisa masuk ke dalam hatinya. Bahkan kalau bisa aku ingin dia menjadi pendamping hidupku. Jika dia berpegang teguh pada ajaran bahwa pacaran itu haram, namun dia bisa membuka pintu bagaimana cara mendekati seorang gadis, yakni dengan taaruf.
“Tujuan dari taaruf ini apa sih?” kataku.
“Jelas tujuan taaruf adalah menikah” jawabnya.
“Tujuan pacaran kan juga untuk menikah?”
“Kakak bisa tanyakan kepada mereka yang pacaran…apakah betul tujuan mereka pacaran adalah untuk menikah?”
Aku terdiam, berusaha mencerna omongan gadis berjilbab itu. Kurasakan memang tidak semua orang pacaran selalu bertujuan untuk menikah. Beberapa temanku bahkan mengatakan mereka pacaran hanya untuk mencari kesenangan saja. Bosan dengan pacar yang satu ganti dengan pacar yang lain. Putuskan pacar lama jika sudah bosan dan cari yang baru sebagai penggantinya.
“Islam sesungguhnya mengangkat harkat kaum wanita” katanya.
“Betapa tidak,pacaran itu hanya akan merugikan wanita. Kenapa tidak, orang yang pacaran tidak punya deadline waktu kapan menikah. Ada orang yang berpacaran cukup lama bukan setahun atau dua tahun namun ada yang hingga 9 tahun. Ketika masuk sembilan tahun itu mereka berpisah dan masing-masing menikah dengan pasangan lain.
Kurasakan kereta bergerak pelan. Gadis di depanku pun mulai merasa ngantuk. Aku tak ingin mengganggunya. Kubiarkan dia terhanyut dalam tidurnya yang pulas. Saat dia tertidur itu aku sempat memperhatikan wajahnya yang ayu. Dia begitu santai tanpa beban, tertidur pulas seperti bayi yang kekenyangan.
Diam-diam aku ingin tertawa. Aku merasa geli sudah bersenda gurau cukup lama namun aku belum mengenal siapa nama gadis itu. Demikian juga dia tidak pernah menanyakan siapa namaku.
Aku membayangkan betapa bahagianya jika gadis seperti dia bisa menjadi pendamping hidupku. Seorang gadis berjilbab yang cerdas dan punya wawasan yang luas soal keimanan. Bagaimana mendapatkannya jika berpacaranpun dia ogah. Ya,dia seorang muslimah yang tidak membenarkan pacaran. Lantas bagaimana cara dia mendapatkan lelaki idamannya? Bagaimana cara dia menentukan calon suaminya kelak? Bagaimana?
Kereta terasa mulai bergerak perlahan-lahan. Stasiun demi stasiun telah terlewati , kini kereta Parahyangan yang kami tumpangi memasuki kota Bekasi berarti Jatinegara tinggal beberapa jam lagi atau puluh menit lagi.
Aku baru saja membangunkan gadis berjilbab didepanku, mendadak dia membuka matanya. Dia kedengaran mendesiskan sebuah doa bangun tidur, setelah itu dia mencoba tersenyum padaku.
“Hendaknya kita bersiap-siap, Jatinegara sebentar lagi” kataku.
Sambil mengucapkan kata itu mendadak hatiku merasa sedih. Sedih karena aku akan berpisah dengannya. Padahal aku masih ingin bersamanya bahkan hingga kereta ini berakhir di stasiun paling akhir.
Guncangan kereta kurasakan cukup keras akibat rem. Kereta masuk stasiun Jatinegara. Gadis berjilbab itu mulai berdiri mengemasi barang bawaannya. Tanpa diminta akupun membantu menurunkan tas dan bawaan lainnya dari rak yang ada diatas kepala kami. Dan tanpa diminta pula aku mengantarkan dia sampai ke pintu keluar stasiun.
Sebelum berpisah aku sempat bertanya kepadanya apakah sudah ada orang yang taaruf padanya. Pertanyaan itu hanya dijawabnya dengan gelengan kepala yang artinya dia masih belum pernah ada orang yang memintanya untuk dijadikan isteri.
Demikian gembiranya aku karena punya kesempatan untuk melakukan taaruf padanya. Hingga aku sampai lupa tidak menanyakandimana tempat tinggalnya. Bahkan aku lupa menanyakan siapa namanya. Kini gadis berjilbab itu masih membayang di mataku. Namun aku tak tahu harus keman mencarinya. Bulan demi bulan kucari hingga kini aku masih tetap mencarinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar